Cari Blog Ini

20100730

DIGITAL DIVINE





Seiring dengan berkembangnya teknologi informasi, memasuki dekade 1990-an, adonan lama bernama senjang generasi mendapat bumbu lain dan menghasilkan "penganan" anyar yang disebut digital divide.
Digital divide atau senjang digital mengacu pada kesenjangan atau jurang yang menganga di antara mereka yang dapat mengakses teknologi informasi (TI) dan mereka yang tidak dapat melakukannya. Ketakseimbangan ini bisa berupa ketakseimbangan yang bersifat fisik (tidak mempunyai akses terhadap komputer dan perangkat TI lain) atau yang bersifat keterampilan yang diperlukan untuk dapat berperan serta sebagai warga digital. Jika pembagian mengarah ke kelompok, maka senjang digital dapat dikaitkan dengan perbedaan sosial-ekonomi (kaya/miskin), generasi (tua/muda), atau geografis (perkotaan/pedesaan). Sejalan dengan berkembangnya dan makin tidak terpisahkannya Internet dengan TI, maka digital divide mencakup juga ketakseimbangan akses terhadap dunia maya.
Senjang digital juga melahirkan kelompok the haves dan the have nots. Kelompok the haves adalah mereka yang mempunyai previlese dapat mengakses serta memanfaatkan TI, sementara mereka yang berada di kategori the have nots tidak memiliki keistimewaan itu.
Jika di era 1960-an senjang generasi lebih terkait dengan masalah gaya hidup, maka jika kita berbicara tentang senjang generasi dekade 1990-an, penguasaan teknologi digital menjadi penyebab timbulnya jurang perbedaan itu.
Senjang digital bisa terjadi di dalam keluarga. Kondisi ini tercipta jika pada suatu keluarga ada anggotanya yang dapat dan terampil mengakses TI—dan Internet—tetapi ada juga yang tidak memiliki previlese itu. TI adalah teknologi yang relatif baru. Menurut situs Pusat Penelitian Informatika LIPI (http://www.informatika.lipi.go.id/perbedaan-information-technology-dengan-computer-science), disiplin ilmu TI berkembang di akhir tahun 1990-an. Oleh karena itu, tidaklah terlalu mengherankan jika kaum muda berusia tigapuluhan atau duapuluhan atau bahkan yang berusia belasan tahun lebih piawai menguasai teknologi ini. Lalu generasi di atasnya yang terdiri dari orang-orang yang telah berusia empatpuluhan atau limapuluhan dikatakan sebagai generasi yang gaptek alias gagap teknologi.
Senjang digital ini bisa melahirkan situasi baru di dalam keluarga. Karena tidak atau kurang menguasai TI, para orangtua kerap "kecolongan." Mereka tidak tahu persis apa yang dilakukan putera atau puteri remajanya di balik punggung mereka.
Di Indonesia, kehidupan para ABG di perkotaan tidak lepas dari sentuhan Internet. Walaupun akses Internet di negara kita mungkin tidak seleluasa di negara maju, tidak berarti remaja kita tidak bisa bergaul ria virtual.
Situs situs yang marak dan tengah digandrungi oleh remaja di indonesia saat ini adalah fecebook. Sesuai dengan nama dan klasifikasinya—jejaring sosial—facebook memungkinkan para ABG mencari dan memperoleh teman gaul cyber dalam jumlah yang fantastis. Jika ingin menjadi anggota, pengakses situs ini harus mengisi data pribadi pada personal profile: usia, pekerjaan, status, general interest, musik, buku, film dan acara televisi. Setelah itu, ia dapat mengundang (invite) teman-temannya untuk bergabung pada "personal network"-nya. Teman-teman itu nantinya akan menyebarluaskan profil sesama anggota lewat fitur semacam Testimonial, Ad as Friend, Invite to Group, atau Forward to Friend. Yang membuat facebook menjadi adiktif adalah karena anggota dapat melakukan surfing mencari teman-teman baru—bekas pacar, teman gaul semasa sekolah menengah, teman waktu indekosan, rekan kerja, atau anggota lain yang belum dikenal.
Bagi remaja, Facebook adalah tempat yang mengasyikkan sebagai pengisi waktu luang dan ajang "bergaul bebas" tanpa intipan bokap atau nyokap. Artinya, jika di rumah bersangkutan terdapat senjang digital dengan orangtua sebagai pihak the have nots, maka orangtua tidak menguasai akses untuk mengontrol perilaku anaknya ketika si anak "lalu lalang" di dunia maya.
Tidak ada kontrol memungkinkan makin besarnya timbul ekses yang tidak diinginkan dari gaul virtual. Contohnya adalah jika orangtua buta Internet, maka ia mungkin tidak dapat ngobrol dengan anaknya tentang fitur apa saja yang terdapat di facebook. Salah satu fitur di facebook adalah Forward to Friend. Dengan fitur ini, siapa pun dapat memberikan data putera atau puteri Anda ke siapa saja di segenap penjuru dunia. Penyalahgunaan data pribadi bisa saja dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab atau pihak-pihak yang mempunyai tujuan tertentu—cyber predator (pemangsa cyber), misalnya.
Pemangsa cyber memanfaatkan data-data yang tercantum di dunia maya untuk mencari korbannya. Di Indonesia kasus kejahatan seksual atau penculikan dengan memanfaatkan Internet mungkin masih jarang atau malah belum dijumpai. Lain halnya dengan negara Paman Sam. Biro Investigasi Federal (FBI) telah lama mengendus bau tidak sedap dari pergaulan maya ini. Mereka wanti-wanti memperingatkan para orangtua tentang bahaya yang mengintip para pengguna Internet—terutama anak-anak dan remaja. Situs FBI mencantumkan panduan bagi orangtua untuk menjaga keselamatan anaknya yang aktif berselancar di dunia maya (http://www.fbi.gov/publications/pguide/pguidee.htm). Di sini dicantumkan beberapa indikasi anak yang mungkin tengah menghadapi bahaya online, antara lain disebutkan bahwa anak banyak menghabiskan waktu untuk online terutama di malam hari, bahwa anak cepat-cepat mematikan layar monitor ketika Anda memasuki kamarnya, atau bahwa anak jadi menarik diri dari keluarganya.
Maka sebenarnya permasalahan seperti ini dapat dicegah jika tidak terdapat kesenjangan dalam pengetahuan tentang teknoligi komunikasi pada saat ini, sehingga kegiatan negatif di dunia maya yang dilakukan oleh para remaja dapat diminimalisir.
Maka, untuk menjembatanai Digital Divide di suatu negara diperlukan strategi sebagai berikut:
·         Kurangi kerumitan teknologi Broadband agar masyarakat awam mau memanfaatkan layanan Broadband, melalui penelitan bersama antara Perusahaan Komersiil, Non-Profit dan Sektor Publik untuk menciptakan produk perangkat dan layanan Broadband yang user friendly.
·         Masukkan layanan Broadband dalam Program-program Pemberdayaan Sosial dan Ekonomi Pemerintah, seperti pendidikan, penyediaan lapangan kerja, kesehatan dan lainnya untuk memberdayakan masyarakat (di-embedded dalam program).
·         Penyedia layanan Broadband perlu memperhatikan relevansi layanannya dengan kebutuhan komunitas, dari pemasarannya sampai aktivitas “akar-rumput” masyarakat. melaui kerjasama Public-Private Partnership (PPP).

Tijauan Pustaka
http://mastel.wordpress.com/category/digital-divide-karena-kurangnya-demand-dan-perangkat-yang-kompleks/
http://www.edu2000.org/portal/index.php?option=com_content&task=view&id=395&Itemid=9
http://www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2010/07/09/AR2010070905521.html

http://www.africaresource.com/index.php?option=com_content&view=article&id=73:nigeria-between-lord-lugard-and-the-digital-divide-political-culture-and-the-skill-revolution&catid=36:essays-a-discussions&Itemid=346